Sabtu, 26 November 2011

Program Keterampilan Tekan Angka Pengangguran




Habis Gelap Terbitlah Terang. Judul buku pejuang emansipasi RA Kartini itu agaknya bisa menjadi pilihan kalimat yang tepat untuk menggambarkan Desa Gemawang, Kecamatan Jambu, Kabupaten Semarang. Berkat pengembangan berbagai program keterampilan (vokasi) oleh Ditjen Pendidikan Nonformal dan Informal (PNFI) Kementerian Pendidikan Nasional, desa yang dulu tertinggal itu sekarang menjadi gemah ripah loh jinawi.
Perubahan itu dirasakan benar oleh Sukirno (39), warga Desa Gemawang yang sebelumnya bekerja serabutan mulai dari buruh tani, pabrik hingga bangunan. Sejak digulirkannya program vokasi di desa itu setahun terakhir, ia tak pernah menganggur lagi. Hari-harinya disibukkan dengan membuat alat edukasi untuk dipasok ke pusat belajar pendidikan anak usia dini (PAUD) yang tersebar di seputar Jawa Tengah.
"Kebetulan saya senang menggambar dan membuat kerajinan tangan, jadi bergabung di vokasi alat edukasi," kata pria lajang ini.
Soal penghasilan, Sukirno mengaku jumlahnya memang tidak sebesar jika ia menjadi buruh pabrik. Namun, pekerjaan yang teratur membuat suasana hatinya lebih tenang dalam menjalani hidup.
Begitu juga dengan dengan nasib Wiwin Trikurniawan, pria 29 tahun yang kini "juragan" ikan lele. Sejak aktif dalam program pelatihan keterampilan budi daya lele, hasil panennya tidak pernah mengecewakan. Wiwin bersama kelompoknya di vokasi perikanan berhasil menjual sekitar 6.000 ekor ikan lele setiap bulannya.
Karena tingginya permintaan ikan lele dari para pedagang, menurut Wiwin, maka saat ini anggotanya memiliki kolam ikan di halaman rumahnya masing-masing. "Kolam ini rencananya menjadi kolam pembibitan saja. Sebab, kalau hanya mengandalkan dua kolam ini, permintaan pasar tidak bisa dipenuhi," ucap Wiwin.
Pembuatan alat edukasi PAUD dan pemeliharaan lele ini merupakan dua dari beberapa keterampilan yang dikembangkan di Desa Gemawang, seperti pembuatan batik, madu, kopi, roti, makanan kecil untuk oleh-oleh seperti keripik tempe, lanting dan keripik pisang, budi daya indigo, kelengkeng, pupuk organik, jamur tiram, tanaman obat hingga peternakan kelinci.
Ade Kasmiadi, Kepala Pusat Pengembangan Pendidikan Nonformal dan Informal (P2PNFI) Regional II Jateng, sekaligus penggagas pembentukan desa vokasi itu menuturkan, pengembangan desa vokasi menekankan pada pemberian sejumlah kecakapan hidup bagi masyarakat untuk pengentasan kemiskinan.
"Masyarakat dilatih oleh para praktisi yang benar-benar jago di lapangan, hingga mereka benar-benar berhasil dan mandiri. Kami juga melakukan pendampingan untuk melihat sejauh mana tingkat keberhasilannya," ujarnya.
Ade mengemukakan, ada 13 pelatihan yang diikuti 10-20 peserta tergantung pada inatnya. Dari kegiatan itu, kemudian dikembangkan lagi dalam beberapa kelompok usaha produktif. Dengan demikian, masyarakat yang ingin belajar berusaha bisa mengikuti kelompok usaha yang ada.
Selain mengembangkan kelompok-kelompok usaha produktif sesuai potensi lokal, di Desa Gemawang juga tersedia perpustakaan. Perpustakaan itu dijalankan secara berkeliling ke dusun-dusun sehingga warga bisa membaca aneka buku pengetahuan.
"Keberadaan perpustakaan desa ini sangat penting karena warga bisa belajar tidak saja keterampilan lewat buku-buku, tetapi juga pengetahuan lainnya. Jadi, bukan saja keterampilan yang diasah, tetapi juga otaknya agar wawasannya lebih terbuka," ucapnya.
Ade mengungkapkan, gagasannya tentang desa vokasi sebenarnya terinspirasi oleh kebijakan Pemerintah Thailand lewat program "One Tambon, One Product" atau "Satu Kampung, Satu Produk", yaitu satu kampung/desa wajib memiliki satu produk unggulan.
"Awalnya, produk-produk unggulan itu hanya untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik.
Namun, karena digarap secara serius, maka produk-produk unggulan dari desa-desa di Thailand itu bisa menembus pasar internasional," kata Ade seraya berharap suatu hari nanti produk dari desa vokasi juga bisa go international.
Pembentukan desa vokasi ini terbilang tepat untuk mengatasi angka pengangguran di Indonesia yang makin membengkak. Analoginya sangat sederhana, jika masyarakat pedesaan sudah mandiri dan bahkan bisa mendatangkan devisa dengan produk-produk unggulan lokal, maka mereka tidak akan menyerbu wilayah perkotaan. (Tri Wahyuni)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar