Sabtu, 26 November 2011

Indovision Rilis Siaran Pendidikan Keterampilan



Jakarta - Memenuhi janjinya yang sempat tercetus awal 2010 lalu, TV kabel berlangganan Indovision pun mulai menyiarkan siaran pendidikan ketrampilan. Konsep siaran yang diklaim mampu menjadi alternatif solusi bagi daerah-daerah yang tak terjangkau pendidikan konvensional ini, ditargetkan bakal menghasilkan 1.000 kelas ketrampilan.

Head Corporate Secretary MNC Sky Vision (Indovision) Arya Mahendra Sinulingga mengatakan, program yang digagas Global Mediacom atau yang lebih dikenal dengan sebutan MNC Grup bersama dengan Dinas Pendidikan ini telah mulai disiarkan sejak awal Mei lalu.

Dalam program kerjasama tersebut Indovision berperan sebagai penyedia konten yang bertanggung jawab untuk memproduksi siaran.

Arya mengatakan investasi yang dikeluarkan Indovision untuk produksi per episode berkisar Rp 20 juta. Itu prediksi produksi untuk siaran selama 30 menit, jelas Arya kepada KONTAN (11/5).

PT Global Mediacom, Tbk sendiri telah menandatangani nota kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) dibidang pendidikan dan keterampilan dengan Kementerian Pendidikan Nasional (Diknas) pekan lalu. Penandatanganan MoU itu dilakukan oleh Direktur Utama Global Mediacom Hary Tanoesoedibjo dan Menteri Pendidikan Nasional Muhammad Nuh.

Lewat nota kesepahaman tersebut kedua pihak sepakat untuk memverikan pendidikan keterampilan melalui program siaran Televisi Edukasi, yaitu siaran program pendidikan jarak jauh. Sehingga masyarakat Indonesia yang semula tidak memiliki keterampilan dan pendidikan dapat belajar lewat siaran TV.

Program pendidikan jarak jauh melalui siaran TV Edukasi ini menyasar segmen masyarakat di Indonesia terutama daerah-daerah pinggiran dan terpencil.

"Oleh karena itu, Global Mediacom sengaja merangkul Indovision sebagai penyedia perangkat siaran. Karena Indovision memiliki teknologi yang sesuai untuk menyiarkan ke seluruh Indonesia," ujar Harry Tanoesodibjo direktur Utama Global Mediacom.

Program Keterampilan Tekan Angka Pengangguran




Habis Gelap Terbitlah Terang. Judul buku pejuang emansipasi RA Kartini itu agaknya bisa menjadi pilihan kalimat yang tepat untuk menggambarkan Desa Gemawang, Kecamatan Jambu, Kabupaten Semarang. Berkat pengembangan berbagai program keterampilan (vokasi) oleh Ditjen Pendidikan Nonformal dan Informal (PNFI) Kementerian Pendidikan Nasional, desa yang dulu tertinggal itu sekarang menjadi gemah ripah loh jinawi.
Perubahan itu dirasakan benar oleh Sukirno (39), warga Desa Gemawang yang sebelumnya bekerja serabutan mulai dari buruh tani, pabrik hingga bangunan. Sejak digulirkannya program vokasi di desa itu setahun terakhir, ia tak pernah menganggur lagi. Hari-harinya disibukkan dengan membuat alat edukasi untuk dipasok ke pusat belajar pendidikan anak usia dini (PAUD) yang tersebar di seputar Jawa Tengah.
"Kebetulan saya senang menggambar dan membuat kerajinan tangan, jadi bergabung di vokasi alat edukasi," kata pria lajang ini.
Soal penghasilan, Sukirno mengaku jumlahnya memang tidak sebesar jika ia menjadi buruh pabrik. Namun, pekerjaan yang teratur membuat suasana hatinya lebih tenang dalam menjalani hidup.
Begitu juga dengan dengan nasib Wiwin Trikurniawan, pria 29 tahun yang kini "juragan" ikan lele. Sejak aktif dalam program pelatihan keterampilan budi daya lele, hasil panennya tidak pernah mengecewakan. Wiwin bersama kelompoknya di vokasi perikanan berhasil menjual sekitar 6.000 ekor ikan lele setiap bulannya.
Karena tingginya permintaan ikan lele dari para pedagang, menurut Wiwin, maka saat ini anggotanya memiliki kolam ikan di halaman rumahnya masing-masing. "Kolam ini rencananya menjadi kolam pembibitan saja. Sebab, kalau hanya mengandalkan dua kolam ini, permintaan pasar tidak bisa dipenuhi," ucap Wiwin.
Pembuatan alat edukasi PAUD dan pemeliharaan lele ini merupakan dua dari beberapa keterampilan yang dikembangkan di Desa Gemawang, seperti pembuatan batik, madu, kopi, roti, makanan kecil untuk oleh-oleh seperti keripik tempe, lanting dan keripik pisang, budi daya indigo, kelengkeng, pupuk organik, jamur tiram, tanaman obat hingga peternakan kelinci.
Ade Kasmiadi, Kepala Pusat Pengembangan Pendidikan Nonformal dan Informal (P2PNFI) Regional II Jateng, sekaligus penggagas pembentukan desa vokasi itu menuturkan, pengembangan desa vokasi menekankan pada pemberian sejumlah kecakapan hidup bagi masyarakat untuk pengentasan kemiskinan.
"Masyarakat dilatih oleh para praktisi yang benar-benar jago di lapangan, hingga mereka benar-benar berhasil dan mandiri. Kami juga melakukan pendampingan untuk melihat sejauh mana tingkat keberhasilannya," ujarnya.
Ade mengemukakan, ada 13 pelatihan yang diikuti 10-20 peserta tergantung pada inatnya. Dari kegiatan itu, kemudian dikembangkan lagi dalam beberapa kelompok usaha produktif. Dengan demikian, masyarakat yang ingin belajar berusaha bisa mengikuti kelompok usaha yang ada.
Selain mengembangkan kelompok-kelompok usaha produktif sesuai potensi lokal, di Desa Gemawang juga tersedia perpustakaan. Perpustakaan itu dijalankan secara berkeliling ke dusun-dusun sehingga warga bisa membaca aneka buku pengetahuan.
"Keberadaan perpustakaan desa ini sangat penting karena warga bisa belajar tidak saja keterampilan lewat buku-buku, tetapi juga pengetahuan lainnya. Jadi, bukan saja keterampilan yang diasah, tetapi juga otaknya agar wawasannya lebih terbuka," ucapnya.
Ade mengungkapkan, gagasannya tentang desa vokasi sebenarnya terinspirasi oleh kebijakan Pemerintah Thailand lewat program "One Tambon, One Product" atau "Satu Kampung, Satu Produk", yaitu satu kampung/desa wajib memiliki satu produk unggulan.
"Awalnya, produk-produk unggulan itu hanya untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik.
Namun, karena digarap secara serius, maka produk-produk unggulan dari desa-desa di Thailand itu bisa menembus pasar internasional," kata Ade seraya berharap suatu hari nanti produk dari desa vokasi juga bisa go international.
Pembentukan desa vokasi ini terbilang tepat untuk mengatasi angka pengangguran di Indonesia yang makin membengkak. Analoginya sangat sederhana, jika masyarakat pedesaan sudah mandiri dan bahkan bisa mendatangkan devisa dengan produk-produk unggulan lokal, maka mereka tidak akan menyerbu wilayah perkotaan. (Tri Wahyuni)

Workshop Guru Bahasa Mandarin di BPPNFI Makassar





Makassar - Sebanyak 35 guru bahasa Mandarin se Sulawesi Selatan, mengikuti workshop pemantapan sumber daya guru bahasa Mandarin. Sebagian besar di antaranya merupakan utusan Yayasan Pengambangan Ilmu Kebudayaan dan Harapan Bangsa (YPIK-HB) Makassar.
 
Workshop tersebut dibuka Kepala sub Direktorat Kursus dan Pelatihan Dirjen Pendidikan Anak Usia Dini Kementerian Pendidikan NasionalAbu Bakar Umar, di Gedung Balai Pengembangan Pendidikan Nonformal dan Informal (BPPNFI) Regional V Makassar, Jl Adhyaksa, Makassar, Sabtu (16/4).
 
Abu Bakar merespon positif kegiatan ini sebagai salah satu upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia guru-guru Bahasa Mandarin di Makassar.
 
Salah satu kegiatan dalam workshop yang akan berlangsung dua hari ini adalah pelatihan pembuatan kerajinan tangan berupa gantungan perhiasan yang dibawakan Nurhayati Sommeng, guru Bahasa Mandari dari Kabupaten Wajo.
 
Pelatihan kerajinan tangan yang diajarkan kepada peserta workshop  itu menurut Nurhayati merupakan salah satu budaya Tionghoa yang masih dilestarikan dan tetap terpeliharan hingga saat ini.

Warga Desa Dilatih Komputer




Sungguminasa - Mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN) Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar melaksanakan pelatihan IT (komputer) untuk warga dan remaja se Desa Borong Pa'la'la, Kabupaten Gowa.
 
Panitia pelaksana, Suriani, mengatakan, pelatihan yang diselenggarakan selama dua hari itu dilakukan di Gedung Serba Guna Desa Borong Pa?lala, Kabupaten Gowa.
 
Dalam kegiatan yang diikuti ratusan peserta ini menurut Suriani, peserta diberi materi dasar tentang pengenalan office (word), bagian-bagian komputer, teknik mengedit foto di photoshop, exel, dan beberapa program lainnya.

Kepala Desa Borong Pa'lala, Muhammad Jafar, mengapresiasi pelatihan komputer yang diselenggarakan mahasiswa UIN yang KKN di daerahnya karena bisa menambah wawasan pemuda dan warga desa setempat.
 
Menurut Suriani, selain program pengenalan komputer, mahasiswa juga membuat kegiatan lain seperti menggelar lomba MTQ, pelatihan dasar IT, Yasinan setiap malam Jumat dan beberapa program lainnya.(rusdy embas)

Dodol Salak Pangu, Meningkatkan Nilai Jual Buah Salak





Di sebuah desa di kabupaten Minahasa Tenggara Provinsi Sulawesi Utara yaitu Desa Pangu Dua tepatnya di kecamatan Ratahan Timur terdapat tempat pembuatan Dodol Salak. Dodol Salak adalah makanan sejenis dodol yang terbuat dari buah salak dan sangat menarik untuk dijadikan oleh-oleh atau buah tangan. Menurut Informasi dari Pengelola Dodol Salak,  Bpk. Fadly Kawuwung "awal mula pembuatan dodol salak sebenarnya sudah lama ada, bermula karena buah salak di Desa Pangu Raya jika pd musim panen raya, biasa harga menjadi sangat murah sehingga ada masukan untuk mengolah buah salak menjadi produk yang bisa mengangkat harga jual buah salak agar tidak murah. Bertepatan hal tersebut, awal tahun 2011 diadakan pelatihan pembuatan Dodol Salak dan olahan lain dari buah salak seperti selai dan manisan salak yang dilaksanakan oleh Balai Pelatihan Kewirausahaan Bidang Agro Industi/Pangan di Kota Manado Provinsi Sulawesi Utara yang diikuti istri saya yang bernama Firginia L. D. Pontonuwu, SE bersama orang utusan dari desa Pangu/Mitra. Selesai mengikuti pelatihan tersebut, karena sudah mendapat pengetahuan dan dorongan dari para pemberi materi diklat, maka kami bersemangat langsung menindak lanjuti dengan berusaha membuat dodol salak yang kemudian kami beri nama Dodol Salak Pangu, Salak Jaya. Selain itu, kami pun sekarang sedang mencoba mencari olahan dari buah salak seperti keripik, minuman dari buah salak, dll".
 
Proses pembuatan Dodol Salak ini pun cukup sederhana, yakni dengan menggunakan peralatan seperti Wajan,Sendok besar kayu,tungku dan kayu bakar. Dalam satu Wajan dapat menampung 8 kilo salak yang dicampur 1 ½ Kg gula aren, 5 ½ Kg gula pasir, dan 2 Kg tepung beras ketan,ditambah garam dan air secukupnya serta dengan perbandingan santan 1:1 dan dapat juga divariasikan dgn pandan pasta, kemudian diaduk secara terus menerus selama 3-4 jam hingga mengental dengan tanda sudah tidak lengket lalu didinginkan semalam. 
 
Untuk pengemasannya, dodol dibungkus kecil-kecil menggunakan plastik kemudian daun woka/lontar yang sudah dikeringkan. Dalam setiap kemasan berisi 10 buah dodol dan dihargai Rp.5000,- per kemasan. Dalam seminggu permintaan dodol salak bisa mencapai 16 Kg. Dan mampu bertahan disimpan hingga 3 bulan. Namun sampai saat ini tempat pembuatan dodol salak ini belum pernah mendapatkan bantuan.   

Keselarasan Pendidikan Dengan Dunia Kerja/DUDI (Dunia Usaha&Dunia Industri)





Jakarta - Pemetaan Kebutuhan Kerja Penting Bagi Pendidikan, Direktur Pembinaan Kursus dan Pelatihan PAUDNI Wartanto mengatakan, "Penyelarasan pendidikan dengan dunia kerja amatlah penting dilakukan. Tapi terlebih dahulu diberlakukan pemetaan kebutuhan kerja antara kebutuhan dengan lembaga kerja yang ada di pendidikan," ujarnya dalam konferensi pers Direktur Jenderal Pembinaan Kursus dan Pelatihan PAUDNI Kementerian Pendidikan Nasional  yang akan menyelenggarakan Lomba Edunimasi Festival 2011 Lomba Nasional Pembuatan Klip Animasi Edukasi dengan tema: Keselarasan Pendidikan dengan Dunia Kerja.
 
Menurut Wartanto, penyelarasan pendidikan dengan dunia kerja lebih mengkhususkan bagaimana menemukan keselarasan antara lulusan pendidikan dengan dunia kerja yang ada. Diharapkan, anak didik yang sudah lulus dapat memenuhi akses kebutuhan lahan pekerjaan.
 
Wartanto menginformasikan, "Dari total jumlah pengangguran di Indonesia, pengangguran SMK menempati posisi tertinggi yaitu sebanyak 17,26% (2009) dan 14,59 persen (2008). Diikuti oleh pengangguran dari tingkat SMA sebanyak 14,01% (2009) dan 14,5% (2008)."
 
Karena itu, penyelarasan pendidikan sangat penting dilakukan. Wartanto menegaskan, "Jangan sampai anak-anak SMK setelah lulus dibiarkan untuk menganggur. Begitu pula dengan anak-anak lulusan kursus dan politeknik."
 
Ini tidak hanya dikhususkan bagi lembaga kursus saja tapi juga bagi siswa SMA, SMK, serta politeknik. Tapi dikhususkan memang untuk SMK dan pendidikan nonformal (kursus) karena SMK dan lulusan kursus langsung dilempar ke dalam dunia pekerjaan, sangat berbeda dengan lulusan SMA yang harus melanjutkan ke universitas dan belajar teori. (grace)
 
23 Juni 2011 | Laporan oleh aline

Belajar Kecapi di Sidrap




Azan pertanda waktu shalat Lohor sementara berkumandang dari menara masjid, ketika kami tiba di Dusun Dea, Desa Sipodeceng, Kecamatan Baranti, Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap), siang itu, untuk melihat langsung tempat pembuatan kecapi.
 
Usai salat Lohor, seorang pria berusia 57 tahun, yang masih terlihat enerjik bergegas menemui kami di kolong rumah yang merupakan bengkel tempat pembuatan kecapinya. Kegiatan pembuatan kecapi ini merupakan salah satu pengrajin binaan Balai Pengembangan Pendidikan Nonformal dan Informal (BPPNFI) Regional V Makassar.
 
Berbicara tentang kecapi dengan pria yang berprofesi sebagai guru itu, perbincangan mengalir lancar dalam suasana santai. Meski baru sekitar lima tahun menekuni pembuatan alat musik tradisional itu, H Nurdin sudah sangat piawai menjelaskan seluk beluk pembuatan kecapi.

Itu tidak mengherankan karena selain mampu membuat kecapi, H Nurdin juga sangat piawai memainkan alat musik petik bersenar dua itu. Kemampuannya memainkan kecapi diperlihatkan saat itu juga dibantu putra keduanya yang juga sudah mampu mewarisi keahlian sang ayah membuat dan memainkan kecapi.

Meski membuat kecapi hanya dilakukan secara sambilan sepulang mengajar di SMP Negeri 3 Baranti, Kabupaten Sidrap, namun H Nurdin masih cukup produktif. Dalam sepekan pria berputra empat itu bisa menyelesaikan lima buah kecapi siap jual. Apalagi, nyaris tak ada kecapi yang tinggal di bengkelnya karena setiap selesai sudah ada calon pembelinya.
 
Untuk membuat kecapi, H Nurdin mencari bahan bakunya di sekitar hutan dusun tempatnya bermukim. Beruntung alam masih menyiapkan pohon kecapi yang dalam bahasa lokal disebut Settung, meski saat ini pohon tersebut sudah mulai langka. Jenis kayu ini menurut H Nurdin sangat baik, karena struktur kayunya sangat teratur sehingga mudah dibentuk.

Selain pohon kecapi, menurut H Nurdin, pohon nangka juga bisa menjadi bahan baku alternatif. Hanya saja jarang dipakai karena jenis kayu ini kurang bagus karena sulit dibentuk menjadi kecapi dengan kualitas suara yang benar-benar prima.

Soal pemasaran kecapi, H Nurdin mengaku tidak kesulitan. Nyaris tidak ada kecapi yang tertinggal di bengkelnya. Itu karena konsumennya berdatangan dari berbagai daerah sekitarnya, sebab para pengguna kecapi lebih memilih membeli alat tersebut ketimbang membuatnya sendiri.

Apatah lagi, kecapi buatan H Nurdin sudah diketahui kualitasnya. Sehingga Sanggar Seni Sulota milik H Nurdin seakan menjadi pusat pembuatan kecapi. Khususnya untuk memenuhi kebutuhan peminat alat musik tradisional Sulsel tersebut.

Membuat kecapi mulai dilakoni H Nurdin sekitar 1985 silam, ketika bergabung dalam kelompok usaha kegiatan seni setempat. Dia bergabung dengan kelompok seni tersebut sebagai salah satu cara dia ikut melestarikan salah satu budaya seni lokal Sulsel.

Seiring perjalanan waktu dan makin populernya kecapi buatan H Nurdin ke berbagai daerah, pemerintah pun menaruh perhatian terhadap upayanya yang dinilai mampu melestarikan alat tradisional yang sudah tidak banyak diliring orang itu. Dan bantuan pun mulai turun.

“Saya pernah mendapat bantuan dari pemerintah sebesar Rp 27 juta,”kata H Nurdin dengan wajah sumringah. Bantuan itu menurutnya digunakan membeli peralatan yang masih serba sederhana dan tradisional.

Tentang bantuan yang diberikan pemerintah itu, Kepala Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) Kabupaten Sidrap, Muh Nur, yang mendampingi kami ke lokasi tersebut, mengatakan, itu dilakukan sebagai salah bentuk pembinaan yang dilakukan pemerintah.

Menurut Nur, pemerintah daerah Sidrap, melalui SKB terus melakukan pembinaan terhadap pengembangan pembuatan kecapi yang dilakukan H Nurdin. Bahkan, dalam waktu dekat ini, H Nurdin akan tampil dalam pameran di Jakarta, untuk mempertunjukan cara membuat kecapi sekaligus memainkannya.

“Pembinaan terus kami lakukan agar salah satu alat kesenian tradiosional ini tetap terpelihara. Apalagi, selain mampu membuat kecapi, H Nurdin juga piawai memainkannya,”kata Nur.

Selain membuat kecapi, H Nurdin mendirikan Sanggar Seni bernama Sulota. Kelompok ini sering tampil menghibur dalam berbagai acara. Baik acara yang diselenggarakan warga Sidrap dan sekitarnya maupun kegiatan yang dilakukan pemerintah daerah setempat.

Kecapi buatan H Nurdin bisa laku terjual seharga Rp 175 ribu per buah. Itu untuk jenis kecapi standar. Tetapi jika kecapinya sudah dilengkapi dengan peralatan yang bisa nyambung ke sound harganya sudah menjadi Rp 350 ribu perbuah.

Dengan menjual kecapi standar saja, dengan produksi rata-rata lima unit per buah maka H Nurdin bisa memperoleh penghasilan tambahan sekitar Rp 3,5 juta per bulan. Tetapi jika kecapinya sudah aksesoris maka penghasilannya bisa lebih besar lagi.

Warga Desa Dilatih Manajemen Keuangan




Makassar - Sekitar 20-an warga desa (ibu rumah tangga dan remaja putri) yang merupakan anggota kelompok usaha produktif Pakiti di Desa Lampoko, Kecamatan Balusu, Kabupaten Barru, dilatih Games Bisnis sebagai rangkaian dari pendampingan manajemen keuangan oleh Tim ILO.
 
Pelatihan yang berlangsung, Kamis (8/9), itu merupakan program Restoring Coastal Livelihood (RCL) oleh RCL-Lemsa, Tim konsultan Makasarpreneur.
Peserta pelatihan ini adalah pengelola usaha ternak itik dan telur asin namun masih menggunakan manajemen tradisional.
 
Games bisnis yang berlangsung sehari ini dipandu oleh trainer kewirausahaan dari SIYB ILO, Rahmatia Nuhung yang juga adalah Sekretaris MakassarPreneur. Rahmatia didampingi Muliana, Fajrin, dan Tasrin dari Makassarpreneur. 
 
Kepada peserta pelatihan diperkenalkan Game Bisnis Modul I dengan tema Siklus Usaha Dasar. Permainan bisnis ini disebut Game Bisnis atau Game Modul, yang terdiri dari empat modul atau jenis permainan yang berbeda, yang bisa dimainkan secara terpisah namun memiliki hubungan yang saling membangun dalam poin pembelajarannya. 
 
Game ini bagian dari paket pelatihan Start and Improve Your Business atau SIYB yang dikembangkan oleh lembaga buruh PBB atau ILO.

Pendidikan Nonformal


A. P E N D A H U L U A N
Kesulitan Dan tantangan dalam kehidupan manusia baik yang diakibatkan oleh lingkungan maupun alam yang kurang bersahabat, sering memaksa manusia untuk mencari cara yang memungkinkan mereka untuk keluar dari kesulitan yang dialaminya. Masih banyaknya warga yang tidak melanjutkan pendidikan ke taraf yang memungkinkan mereka menggeluti profesi tertentu, menuntut upaya-upaya untuk membantu mereka dalam mewujudkan potensi yang dimilikinya agar dapat bermanfaat bagi pembangunan bangsa.
Sejauh ini, anggran yang berkaitan dengan pendidikan mereka masih terbatas, sehingga berbagai upaya untuk dapat terus mendorong keterlibatan masyarakat dalam membangun pendidikan terus dilakukan oleh pemerintah. Hal ini dimaksudkan agar makin tumbuh kesadaran akan pentingnya pendidikan dan mendorong masyarakat untuk terus berpartisipasi aktif di dalamnya.
Bertitik tolak dari permasalahan yang dihadapi, pendidikan luar sekolah berusaha mencari jawaban dengan menelusuri pola-pola pendidikan yang ada, seperti pesantren, dan pendidikan keagamaan lainnya yang keberadaannya sudah jauh sebelum Indonesia merdeka, bertahan hidup sampai sekarang dan dicintai, dihargai dan diminati serta berakar dalam masyarakat. Kelanggengan lembaga-lembaga tersebut karena tumbuh dan berkembang, dibiayai dan dikelola oleh dan untuk kepentingan masyarakat. Di sisi lain, masyarakat merasakan adanya kebermaknaan dari program-program belajar yang disajikan bagi kehidupannya, karena pendidikan yang diselenggarakan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi nyata masyarakat.
Dalam hubungan ini pendidikan termasuk pendidikan nonformal yang berbasis kepentingan masyarakat lainnya, perlu mencermati hal tersebut, agar keberadaannya dapat diterima dan dikembangkan sejalan dengan tuntutan masyarakat berkaitan dengan kepentingan hidup mereka dalam mengisi upaya pembangunan di masyarakatnya. Ini berarti bahwa pendidikan nonformal perlu menjadikan masyarakat sebagai sumber atau rujukan dalam penyelenggaaraan program pendidikannya.
Hasil kajian Tim reformasi pendidikan dalam konteks Otonomi daerah (Fasli Jalal, Dedi Supriadi. 2001) dapat disimpulkan bahwa apabila pendidikan luar sekolah (pendidikan nonformal) ingin melayani, dicintai, dan dicari masyarakat, maka mereka harus berani meniru apa yang baik dari apa yang tumbuh di masyarakat dan kemudian diperkaya dengan sentuhan-sentuhan yang sistematis dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sesuai dengan lingkungan masyarakatnya. Strategi itulah yang perlu terus dikembangkan dan dilaksanakan oleh pendidikan luar sekolah dalam membantu menyediakan pendidikan bagi masyarakat yang karena berbagai hal tidak terlayani oleh jalur formal/sekolah.
Bagi masyarakat yang tidak mampu, apa yang mereka pikirkan adalah bagaimana hidup hari ini, karena itu mereka belajar untuk kehidupan; mereka tidak mau belajar hanya untuk belajar, untuk itu masyarakat perlu didorong untuk mengembangkannya melalui Pendidikan nonformal berbasis masyarakat, yakni pendidikan nonformal dari, oleh dan untuk kepentingan masyarakat
B. PENDIDIKAN NONFORMAL BERBASIS MASYARAKAT
Pendidikan berbasis masyarakat (communihy-based education) merupakan mekanisme yang memberikan peluang bagi setiap orang untuk memperkaya ilmu pengetahuan dan teknologi melalui pembelajaran seumur hidup. Kemunculan paradigma pendidikan berbasis masyarakat dipicu oleh arus besar modernisasi yang menghendaki terciptanya demokratisasi dalam segala dimensi kehidupan manusia, termasuk di bidang pendidikan. Mau tak mau pendidikan harus dikelola secara desentralisasi dengan memberikan tempat seluas-luasnya bagi partisipasi masyarakat.~
Sebagai implikasinya, pendidikan menjadi usaha kolaboratif yang melibatkan partisipasi masyarakat di dalamnva. Partisipasi pada konteks ini berupa kerja sama antara warga dengan pemerintah dalam merencanakan, melaksanakan, menjaga dan mengembangkan aktivitas pendidikaan. Sebagai sebuah kerja sama, maka masvarakat diasumsi mempunyai aspirasi yang harus diakomodasi dalam perencanaan dan pelaksanaan suatu program pendidikan.
1. Konsep Pendidikan Berbasis Masyarakat
Pendidikan berbasis masyarakat merupakan perwujudan demokratisasi pendidikan melalui perluasan pelayanan pendidikan untuk kepentingan masyarakat. Pendidikan berbasis masyarakat menjadi sebuah gerakan penyadaran masyarakat untuk terus belajar sepanjang hayat dalam mengsi tantangan kehidupan yang berubah-ubah.
Secara konseptual, pendidikan berbasis masyarakat adalah model penyelenggaraan pendidikan yang bertumpu pada prinsip “dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat”. Pendidikan dari masyarakat artinya pendidik memberikan jawaban atas kebutuhan masyarakat. pendidikan oleh masyarakat artinya masyarakat ditempatkan sebagai subyek/pelaku pendidikan, bukan objek pendidikan. Pada konteks ini, masyarakat dituntut peran dan partisipasi aktifnya dalam setiap program pendidikan. Adapun pengertian pendidikan untuk masyarakat artinya masyarakat diikutsertakan dalam semua program yang dirancang untuk menjawab kebutullan mereka. Secara singkat dikatakan, masyarakat perlu diberdayakan, diberi Peluang dan kebebasan untuk merddesain, merencanakan, membiayai, mengelola dan menilai sendiri apa yang diperlukan secara spesifik di dalam, untuk dan oleh masyarakat sendiri.
Di dalam Undang-undang no 20/2003 pasal 1 ayat 16, arti dari pendidikan berbasis masyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat. Dengan demikian nampak bahwa pendidikan berbasis masyarakat pada dasarnya merupakan suatu pendidikan yang memberikan kemandirian dan kebebasan pada masyarakat untuk menentukan bidang pendidikan yang sesuai dengan keinginan masyarakat itu sendiri.
Sementara itu dilingkungan akademik para akhli juga memberikan batasan pendidikan berbasis masyarakat. Menurut Michael W. Galbraith, community-based education could be defined as an educational process by which individuals (in this case adults) become more corrtpetent in their skills, attitudes, and concepts in an effort to live in and gain more control over local aspects of their communities through democratic participation. Artinya, pendidikan berbasis masvarakat dapat diartikan sebagai proses pendidikan di mana individu-individu atau orang dewasa menjadi lebih berkompeten dalam ketrampilan, sikap, dan konsep mereka dalam upaya untuk hidup dan mengontrol aspek-aspek lokal dari masyarakatnya melalui partisipasi demokratis. Pendapat lebih luas tentang pendidikan berbasis masyarakat dikemukakan oleh Mark K. Smith sebagai berikut:
… as a process designed to enrich the lives of individuals and groups by engaging with people living within a geographical area, or sharing a common interest, to develop voluntar-ily a range of learning, action, and reflection opportunities, determined by their personal, social, econornic and political need.”
Artinya adalah bahwa pendidikan berbasis masyarakat adalah sebuah proses yang didesain untuk memperkaya kehidupan individual dan kelompok dengan mengikutsertakan orang-orang dalam wilayah geografi, atau berbagi mengenai kepentingan umum, untuk mengembangkan dengan sukarela tempat pembelajaran, tindakan, dan kesempatan refleksi yang ditentukan oleh pribadi, sosial, ekonomi, dan kebutuhan politik mereka.
Dengan demikian, pendekatan pendidikan berbasis masyarakat adalah salah satu pendekatan yang menganggap masyarakat sebagai agen sekaligus tujuan, melihat pendidikan sebagai proses dan menganggap masyarakat sebagai fasilitator yang dapat menyebabkan perubahan menjadi lebih balk. Dari sini dapat ditarik pemahaman bahwa pendidikan dianggap berbasis masyarakat jika tanggung jawab perencanaan hingga pelaksanaan berada di tangan masyarakat. Pendidikan berbasis masyarakat bekerja atas asumsi bahwa setiap masyarakat secara fitrah telah dibekali potensi untuk mengatasi masalahnya sendiri. Baik masyarakat kota ataupun desa, mereka telah memiliki potensi untuk mengatasi masalah mereka sendiri berdasarkan sumber daya vang mereka miliki serta dengan memobilisasi aksi bersama untuk memecahkan masalah yang mereka hadapi.
Dalam UU sisdiknas no 20/2003 pasal 55 tentang Pendidikan Berbasis Masyarakat disebutkan sebagai berikut :
1. Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat.
2. Penyelenggara pendidikan berbasis masyarakat mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan pendanannya sesuai dengan standar nasional pendidikan.
3. Dana penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber-dari penyelenggara, masyarakat, Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau sumber lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan-yang berlaku.
4. Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
5. Ketentuan mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Dari kutipan di atas nampak bahwa pendidikan berbasis masyarakat dapat diselenggarakan dalam jalur formal maupun nonformal, serta dasar dari pendidikan berbasis masyarakat adalah kebutuhan dan kondisi masyarakat, serta masyarakat diberi kewenangan yang luas untuk mengelolanya. Oleh karena itu dalam menyelenggarakannya perlu memperhatikan tujuan yang sesuai dengan kepentingan masyarakat setempat.
Untuk itu Tujuan dari pendidikan nonformal berbasis masyarakat dapat mengarah pada isu-isu masyarakat yang khusus seperti pelatihan karir, perhatian terhadap lingkungan, budaya dan sejarah etnis, kebijakan pemerintah, pendidikan politik dan kewarganegaraan, pendidikan keagamaan, pendidikan bertani, penanganan masalah kesehatan serti korban narkotika, HIV/Aids dan sejenisnya. Sementara itu lembaga yang memberikan pendidikan kemasyarakat bisa dari kalangan bisnis dan industri, lembaga-lembaga berbasis masyarakat, perhimpunan petani, organisi kesehatan, organisasi pelayanan kemanusiaan, organisi buruh, perpustakaan, museum, organisasi persaudaraan sosial, lembaga-lembaga keagamaan dan lain-lain .
2. Pendidikan Nonformal Berbasis Masyarakat
Model pendidikan berbasis masyarakat untuk konteks Indonesia kini semakin diakui keberadaannya pasca pemberlakuan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Keberadaan lembaga ini diatur pada 26 ayat 1 s/d 7. jalur yang digunakan bisa formal dan atau nonformal.
Dalam hubungan ini, pendidikan nonformal berbasis masyarakat adalah pendidikan nonformal yang diselenggarakan oleh warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan dan berfungsi sebagai pengganti, penambah dan/pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian fungsional. Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik. Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan masyarakat, majelis taklirn serta satuan pendidikan yang sejenis.
Dengan demikian, nampak bahwa pendidikan nonformal pada dasarnya lebih cenderung mengarah pada pendidikan berbasis masyarakat yang merupakan sebuah proses dan program, yang secara esensial, berkembangnya pendidikan nonformal berbasis masyarakat akan sejalan dengan munculnya kesadaran tentang bagaimana hubungan-hubungan sosial bisa membantu pengembangan interaksi sosial yang membangkitkan concern terhadap pembelajaran berkaitan dengan masalah yang dihadapi masyarakat dalam kehidupan sosial, politik,, lingkungan, ekonomi dan faktor-faktor lain. Sementara pendidikan berbasis masyarakat sebagai program harus berlandaskan pada keyakinan dasar bahwa partisipasi aktif dari warga masyarakat adalah hal yang pokok. Untuk memenuhinya, maka partisipasi warga harus didasari kebebasan tanpa tekanan dalam kemampuan berpartisipasi dan keingin berpartisipasi.
3. Pinsip-prinsip Pendidikan Berbasis Masyarakat
Menurut Michael W. Galbraith pendidikan berbasis masyarakat memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut:
• Self determination (menentukan sendiri). Semua anggota masyarakat memiliki hak dan tanggung jawab untuk terlibat dalam menentukan kebutuhan masyarakat dan mengidentifikasi sumber-sumber masyarakat yang bisa digunakan untuk merumuskan kebutuhan tersebut.
• Self help (menolong diri sendiri) Anggota masyarakat dilayani dengan baik ketika kemampuan mereka untuk menolong diri mereka sendiri telah didorong dan dikembangkaii. Mereka menjadi bagian dari solusi dan membangun kemandirian lebih baik bukan tergantung karena mereka beranggapan bahwa tanggung jawab adalah untuk kesejahteraan mereka sendiri.
• Leadership development (pengembangan kepemimpinan) Para pemimpin lokal harus dilatih dalam berbagai ketrampilan untuk memecahkan masalah, membuat keputusan, dan proses kelompok sebagai cara untuk menolong diri mereka sendiri secara terus-menerus dan sebagai upaya mengembangkan masyarakat.
• Localization (lokalisasi). Potensi terbesar unhik tingkat partisipasi masyarakat tinggi terjadi ketika masyarakat diberi kesempatan dalam pelayanan, program dan kesempatan terlibat dekat dengan kehidupan tempat masyarakat hidup.
• Integrated delivery of service (keterpaduan pemberian pelayanan) Adanya hubungan antaragensi di antara masyarakat dan agen-agen yang menjalankan pelayanan publik dalam memenuhi tujuan dan pelayanan publik yang lebih baik.
• Reduce duplication of service. Pelayanan Masyarakat seharusnya memanfaatkan secara penuh sumber-sumber fisik, keuangan dan sumber dava manusia dalam lokalitas mereka dan mengoordinir usaha mereka tanpa duplikasi pelayanan.
• Accept diversity (menerima perbedaan) Menghindari pemisahan masyarakat berdasarkan usia, pendapatan, kelas sosial, jenis kelamin, ras, etnis, agama atau keadaan yang menghalangi pengembangan masyarakat secara menyeluruh. Ini berarti pelibatan warga masyarakat perlu dilakukan seluas mungkin dan mereka dosorong/dituntut untuk aktif dalam pengembangan, perencanaan dan pelaksanaan program pelayanan dan aktifitas-aktifitas kemasyarakatan.
• Institutional responsiveness (tanggung jawab kelembagaan) Pelayanan terhadap kebutuhan masyarakat yang berubah secara terus-menerus adalah sebuah kewajiban dari lembaga publik sejak mereka terbentuk untuk melayani masyarakat. Lembaga harus dapat dengan cepat merespon berbagai perubahan yang terjadi dalam masyarakat agar manfaat lembaga akan terus dapat dirasakan.
• Lifelong learning (pembelajaran seumur hidup) Kesempatan pembelajaran formal dan informal harus tersedia bagi anggota masyarakat untuk semua umur dalam berbagai jenis latar belakang masyarakat.
Dalam perkembangannya, community-based education merupakan sebuah gerakan nasional di negara berkemang seperti Indonesia. community-based education diharapkan dapat menjadi salah satu fondasi dalam mewujudkan masyarakat madani (civil society). Dengan sendirinya, manajemen penndidikan yang berdasarkan pada community-based education akan menampilkan wajah sebagai lembaga pendidikan dari masyarakat. Untuk melaksanakan paradigma pendidikan berbasis masyarakat pada jalur nonformal setidak-tidaknva mempersyaratkan lima hal (Sudjana. 1984). pertama, teknologi yang digunakan hendaknya sesuai dengan kondisi dan situasi nyata yang ada di masyarakat. Teknologi yang canggih yang diperkenalkan dan adakalanya dipaksakan sering berubah menjadi pengarbitan masyarakat yang akibatnva tidak digunakan sebab kehadiran teknologi ini bukan karena dibutuhkan, melainkan karena dipaksakan. Hal ini membuat masyarakat menjadi rapuh. Kedua, ada lembaga atau wadah yang statusnya jelas dimiliki atau dipinjam, dikelola, dan dikembangkan oleh masyarakat. Di sini dituntut adanya partisipasi masyarakat dalam peencanaan, pengadaan, penggunaan, dan pemeliharaan pendidikan luar sekolah. Ketiga, program belajar yang akan dilakukan harus bernilai sosial atau harus bermakna bagi kehidupan peserta didik atau warga belajar dalam berperan di masyarakat. Oleh karena itu, perancangannya harus didasarkan pada potensi lingkungan dan berorientasi pasar, bukan berorientasi akademik semata.
Keempat, program belajar harus menjadi milik masyarakat, bukan milik instansi pemerintah. Hal ini perlu ditekankan karena bercermin pada pengalaman selama ini bahwa lembaga pendidikan yang dimiliki oleh instansi pemerintah terbukti belum mampu membangkitkan partisipasi masyarakat. Yang terjadi hanyalah pemaksaan program, karena semua program pendidikan dirancang oleh instansi yang bersangkutan. Kelima, aparat pendidikan luar sekolah/nonformal tidak menangani sendiri programnya, namun bermitra dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan. Organisasi-organisasi kemasyarakatan ini yang menjadi pelaksana dan mitra masyarakat dalam memenuhi kebutuhan belajar mereka dan dalam berhubungan dengan sumber-sumber pendukung program.
4. Pendidikan Berbasis Masyarakat untuk pembangunan masyarakat
Dalam upaya mendorong pada terwujudnya pendidikan nonformal berbasis masyarakat, maka diperlukan upaya untuk menjadikan pendidikan tersebut sebagai bagian dari upaya membangun masyarakat. Dalam hal ini diperlukan pemahaman yang tepat akan kondisi dan kebutuhan masyarakat.
Pembangunan/pengembangan masyarakat, khususnya masyarakat desa merupakan suatu fondasi penting yang dapat memperkuat dan mendorong makin meningkatnya pembangunan bangsa, oleh karena itu pelibatan masyarakat dalam mengembangkan pendidikan nonformal dapat menjadi suatu yang memberi makna besar bagi kelancaran pembangunan.
Pengembangan masyarakat, pengembangan sosial atau pembangunan masyarakat sebagai istilah-istilah yang dimaksud dalam pembahasan ini mengandung arti yang bersamaan. Pengembangan masyarakat, terutama di daerah pedesaan, bila dibandingkan dengan daerah perkotaan jelas menunjukan suatu ketimpangan, sehingga memerlukan upaya yang lebih keras untuk mencoba lebih seimbang diantara keduanya. pengembangan masyarakat, pengembangan sosial atau pembangunan masyarakat tersebut menunjukkan suatu upaya yang disengaja dan diorganisasi untuk memajukan manusia dalam seluruh aspek kehidupannya yang dilakukan di dalam satu kesatuan Wilayah. Kesatuan wilayah itu bisa terdiri dari daerah pedesaan atau daerah perkotaan.
Upaya pembangunan ini bertujuan untuk terjadinya perubahan kualitas kehidupan manusia dan kualitas wilayahnya atau lingkungannya ke arah yang lebih baik. Agar pembangunan itu berhasil, maka pembangunan haruslah menjadi jawaban yang wajar terhadap kebutuhan perorangan, masyarakat dan Pemerintah baik di tingkat desa, daerah ataupun di tingkat nasional. Dengan demikian maka isi, kegiatan dan tujuan pengembangan masyarakat akan erat kaitannya dengan pembangunan nasional.
TR Batten menjelaskan bahwa pengembangan masyarakat ialah proses yang dilakukan oleh masyarakat dengan usaha untuk pertama-tama mendiskusikan dan menentukan kebutuhan atau keinginan mereka, kemudian merencanakan dan melaksanakan secara bersama usaha untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan mereka itu (Batten, 1961). Dalam proses tersebut maka keterlibatan masyarakat dapat digambarkan sebagai berikut. Tahap pertama, dengan atau tanpa bimbingan fihak lain, masyarakat melakukan identifikasi masalah, kebutuhan, keinginan dan potensi-potensi yang mereka miliki. Kemudian mereka mendiskusikan kebutuhan-kebutuhan mereka, menginventarisasi kebutuhan-kebutuhan itu berdasarkan tingkat keperluan, kepentingan dan mendesak tidaknya usaha pemenuhan kebutuhan. Dalam identifikasi kebutuhan itu didiskusikan pula kebutuhan perorangan, kebutuhan masyarakat dan kebutuhan Pemerintah di daerah itu. Mereka menyusun urutan prioritas kebutuhan itu sesuai dengan sumber dan potensi yang terdapat di daerah mereka. Tahap kedua, mereka menjajagi kemungkinan-kemungkinan usaha atau kegiatan yang dapat mereka lakukan, untuk memenuhi kebutuhan itu. apakah sesuai dengan sumber-sumber yang ada dan dengan mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan hambatan yang akan dihadapi dalam kegiatan itu. Selanjutnya mereka menentukan pilihan kegiatan atau usaha yang akan dilakukan bersama. Tahap ketiga, mereka menentukan rencana kegiatan, yaitu program yang akan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Ini dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa memiliki dikalangan masyarakat. Rasa pemilikan bersama itu menjadi prasarat timbulnya rasa tanggung jawab bersama untuk keberhasilan usaha itu. Tahap keempat ialah melaksanakan kegiatan. Dalam tahap keempat ini motivasi perlu dilakukan. Di samping itu komunikasi antara pelaksana terus dibina. Dalam tahap pelaksanaan ini akan terdapat masalah yang menuntut pemecahan. Pemecahan masalah itu dilakukan setelah dirundingkan bersama oleh masyarakat dan para pelaksana. Tahap kelima, penilaian terhadap proses pelaksanaan kegiatan, terhadap hasil kegiatan dan terhadap pengaruh kegiatan itu. Untuk kegiatan yang berkelanjutan, hasil evaluasi itu dijadikan salah satu masukan untuk tindak lanjut kegiatan atau untuk bahan penyusunan program kegiatan baru. Semua tahapan kegiatan itu dilakukan oleh masyarakat secara partisipatif. Pengembangan masyarakat yang bertumpu pada kebutuhan dan tujuan pembangunan nasional itu memiliki dua jenis tujuan. Tujuan-tujuan itu dapat digolongkan kepada tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum dengan sendirinya mengarah dan bermuara pada tujuan nasional, sedangkan tujuan khusus yaitu perubahan-perubahan yang dapat diukur yang terjadi pada masyarakat. Perubahan itu menyangkut segi kualitas kehidupan masyarakat itu sendiri setelah melalui program pengembangan masyarakat. Perubahan itu berhubungan dengan peningkatan taraf hidup warga masyarakat dan keterlibatannya dalam pembangunan. Dengan kata lain tujuan khusus itu menegaskan adanya perubahan yang dicapai setelah dilakukan kegiatan bersama, yaitu berupa perubahan tingkah laku warga masyarakat. Perubahan tingkah laku ini pada dasarnya merupakan hasil edukasi dalam makna yang wajar dan luas, yaitu adanya perubahan pengetahuan, ketrampilan, sikap dan aspirasi warga masyarakat serta adanya penerapan tingkah laku itu untuk peningkatan kehidupan mereka dan untuk peningkatan partisipasi dalam pembangunan masyarakat. Partisipasi dalam pembangunan masyarakat itu bisa terdiri dari partisipasi buah fikiran, harta benda, dan tenaga (Anwas Iskandar, 1975). Dalam makna yang lebih luas maka tujuan pengembangan masyarakat pada dasarnya adalah pengembangan demokratisasi, dinamisasi dan modernisasi (Suryadi, 1971).
Prinsip-prinsip pengembangan masyarakat yang dikemukakan di sini ialah keterpaduan, berkelanjutan, keserasian, kemampuan sendiri (swadaya dan gotong royong), dan kaderisasi. Prinsip keterpaduan memberi tekanan bahwa kegiatan pengembangan masyarakat didasarkan pada program-program yang disusun oleh masyarakat dengan bimbingan dari lembaga-lembaga yang mempunyai hubungan tugas dalam pembangunan masyarakat. Prinsip berkelanjutan memberi arti bahwa kegiatan pembangunan masyarakat itu tidak dilakukan sekali tuntas tetapi kegiatannya terus menerus menuju ke arah yang lebih sempurna. Prinsip keserasian diterapkan pada program-program pembangunan masyarakat yang memperhatikan kepentingan masyarakat dan kepentingan Pemerintah. Prinsip kemampuan sendiri berarti dalam melaksanakan kegiatan dasar yang menjadi acuan adalah kemampuan yang dimiliki oleh masyarakat sendiri.
Prinsip-prinsip di atas memperjelas makna bahwa program-program pendidikan nonformal berbasis masyarakat harus dapat mendorong dan menumbuhkan semangat pengembangan masyarakat, termasuk keterampilan apa yang harus dijadikan substansi pembelajaran dalam pendidikan nonformal. Oleh karena itu, upaya untuk menjadikan pendidikan nonformal sebagai bagian dari kegiatan masyarakat memerlukan upaya-upaya yang serius agar hasil dari pendidikan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dalam upaya peningkatan kualitas hidup mereka
Dalam hal ini perlu disadiri bahwa pengembangan masyarakat itu akan lancar apabila di masyarakat itu telah berkembang motivasi untuk membangun serta telah tumbuh kesadaran dan semangat mengembangkan diri ditambah kemampuan serta ketrampilan tertentu yang dapat menopangnya, dan melalui kegiatan pendidikan, khususnya pendidikan nonformal diharapkan dapat tumbuh suatu semangat yang tinggi untuk membangun masyarakat desanya sendiri sabagai suatu kontribusi bagi pembangunan bangsa pada umumnya.
C. K E S I M P U L A N
Dari apa yang telah diuraikan terdahulu dapatlah ditarik beberapa kesimpulan berkaitan dengan Pendidikan Nonformal berbasis Masyarakat sebagai berikut :
• Pendidikan berbasis masyarakat merupakan upaya untuk lebih melibatkan masyarakat dalam upaya-upaya membangun pendidikan untuk kepentingan masyarakat dalam menjalankan perannya dalam kehidupan.
• Pendidikan nonformal berbasis masyarakat merupakan suatu upaya untuk menjadikan pendidikan nonformal lebih berperan dalam upaya membangun masyarakat dalam berbagai bidangnya, pelibatan masyarakat dalam pendidikan nonformal dapat makin meningkatkan peran pendidikan yang dapat secara langsung dirasakan oleh masyarakat.
• Untuk mencapai hal tersebut pemberdayaan masyarakat melalui pengelolaan pendidikan nonformal menjadi suatu keharusan, dalam hubungan ini diperlukan tentang pemehaman kondisi masyarakat khususnya di desa berkaitan dengan hal-hal yang dibutuhkan dalam rangka meningkatkan kualitas hidupnya, serta turut bertanggungjawab dalam upaya terus mengembangkan pendidikan yang berbasis masyarakat, khususnya masyarakat desa
D. DAFTAR PUSTAKA
Faisal, Sanapiah, (tt). Sosiologi Pendidikan, Usaha Nasional, Surabaya.
Nasution, S. (1983). Sosiologi Pendidikan,Jemmars, Bandung.
Soelaiman Joesoef dan Slamet Santosa, (1981). Pendidikan Sosial, Usaha Nasional,Surabaya
Sudjana SF, Djudju. (1983). Pendidikan Nonformal (Wawasan-Sejarah-Azas), Theme, Bandung.
Tilaar, H.A.R (1997) Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Era Globalisasi, Grasindo, Jakarta, Cetakan Pertama.
Peraturan Pemerintah no 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
Undang-undang no 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
Undang-undang no 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Trik Membuat Anak Cinta Baca



KOMPAS.com — Menumbuhkan atau mengajak anak untuk gemar membaca memang harus dilakukan sejak dini. Namun, upaya ini terkadang tak mudah. Ibaratnya seperti meminta anak untuk minum obat saat mereka sakit atau mencekokinya dengan jamu pahit. Penulis buku anak-anak, ilustrator, guru, dan pendiri National Children's Book and Literacy Alliance, Mary Brigid Barred, berbagi sejumlah tips yang mungkin bisa diterapkan terhadap anak Anda. Silakan disimak!
1. Buatlah anak Anda merasakan dengan indra mereka apa yang diceritakan pada buku yang dibaca.

Ajaklah mereka merasakan apa yang diceritakan di buku itu dengan indra mereka sehingga mereka merasa memiliki bagian atau menjadi salah satu tokoh di buku tersebut.
"Sangat mengagumkan ketika sebuah buku menjadi hidup dan dirasakan oleh indra anak-anak. Saya suka membacakan buku karya Robert McCloskey kepada anak-anak TK, dan pertama-tama saya selalu membagikan lemon untuk mereka. Cerita buku ini tentang seorang anak lelaki yang tinggal di sebuah kota kecil di Ohio dan menjadi penyelamat karena harmonikanya. Ada sebuah bagian di mana band kota tersebut siap untuk manggung di acara perayaan, tetapi tiba-tiba mereka diserang oleh si jahat Old Sneep sambil mengisap lemon. Band tersebut mengerut karena takut sehingga tak bisa memainkan alat musik mereka. Pada bagian itu, saya selalu berseru kepada anak-anak, 'Isap lemon kalian sekarang!' Mereka dengan bersemangat mengisap lemon mereka dan merasakan menjadi Old Sneep," kisah Mary.
2. Ajak anak berpikir kritis dengan cara menyenangkan.
Anda tentu ingin anak Anda dapat berpikir kritis. Salah satu guna pendidikan adalah mengasah anak dapat berpikir secara kritis. Dan, tidak pernah ada kata terlalu dini untuk mengajak anak berpikir kritis. Begitu pula lewat membaca.
Kita ambil contoh cerita tentang laba-laba sang penyelamat.
Mary mengisahkan, ketika ia bertanya kepada anak-anak umur empat tahun siapakah pahlawan dari cerita tersebut, mereka selalu menjawab dengan semangat, "Laba-laba!" Lalu, Anda dapat melanjutkan dengan, "Laba-laba itu punya kesulitan ketika menjadi penyelamat, kira-kira apa, ya, kesulitannya?"
Kepada anak-anak umur enam tahun, Anda bahkan bisa mengenalkan konflik. Tanyalah kepada mereka, "Apa, ya, yang bakal terjadi jika tidak ada hujan, lalu laba-laba tersebut bisa memanjat dan keluar dari saluran pembuangan tersebut?"
Jika dalam satu cerita tidak ada konflik atau masalah yang harus diselesaikan, tentu cerita itu akan membosankan, bukan? Anda bisa menjelaskan kepada anak Anda siapa tokoh protagonis, tokoh antagonis, konflik, dan resolusi dari cerita tersebut.
Dengan begitu, Anda sudah menunjukkan elemen-elemen sebuah cerita pada anak Anda. Seru, bukan? Jika Anda sudah bosan membacakan cerita ini untuk yang kelima kalinya atau bahkan lebih untuk anak Anda, hal-hal seperti ini akan mengeluarkan Anda dari kebosanan karena Anda tidak menceritakan hal yang itu-itu saja!

3. Tulis buku Anda sendiri.
Untuk anak-anak yang baru mulai membaca, siapkanlah notebook atau scrapbook dengan halaman kosong dan isi buku tersebut dengan kata-kata mereka. Anda bisa mulai dengan keluarga Anda. Siapkan foto ayah dan ibu. Bahkan, Anda bisa meminta si sulung untuk menggambarinya. Siapkan foto kakek, nenek, atau anggota keluarga lain. Anda bisa memcentak cerita tersebut dengan huruf-huruf besar dan tebal.
Dengan cara ini, orangtua juga bisa berkreasi sesuai hal yang disenangi anak. Misalnya anak Anda suka sekali dengan pemadam kebakaran, isi buku kosong tersebut dengan gambar-gambar yang berhubungan dengan pemadam kebakaran.
Mary mengungkapkan, ia mengenal satu keluarga yang anaknya terobsesi sekali dengan penyedot debu. "Ketika bertemu dengan saya, anak itu bertanya apakah saya punya tabung tegak atau tidak. Ini merupakan pengantar yang hebat untuk menulis. Ketika nanti anak Anda bertambah besar, bahkan mereka bisa 'kecanduan' untuk menulis cerita mereka sendiri," paparnya.
Selamat mengaplikasikan!
Photo:
http://blog.pgpaud.ac.id/model-pembelajaran-di-paud

PENDIDIKAN KEAKSARAAN KELUARGA

PENGERTIAN :
Merupakan kemampuan memberdayakan keluarga untuk melatih kemampuan berkomunikasi melalui teks lisan, tulis, dan angka dalam bahasa Indonesia agar anggota keluarga yang belum beraksara mampu memeroleh, mencari, dan mengelola informasi untuk memecahkan masalah sehari-hari, khususnya berkaitan dengan pencegahan risiko kematian ibu melahirkan dan bayi, kesehatan keluarga, dan pendidikan karakter.
Dana Pendidikan Keaksaraan Keluarga merupakan biaya operasional penyelenggaraan pemberdayaan keberaksaraan keluarga.

SASARAN :
Penerima Manfaat Layanan SASARAN Keluarga yang masih mempunyai anggota keluarga berusia 15 tahun keatas yang melek aksara parsial dan cenderung masih buta aksara atau mereka yang masih berkeaksaraan rendah.
Penerima Dana
PKBM/Satuan PNF sejenis/Lembaga kemasyarakatan yang memiliki legalitas, kapasitas, dan integritas pembelajaran keaksaraan yang ditunjukkan dengan adanya narasumber teknis untuk pelatihan keaksaraan, data keluarga calon peserta didik, tutor, dan sarana pembelajaran yang disahkan oleh Kepala Desa atau RT/RW.

ALOKASI 2011  :
Dana sebesar = Rp 3.000.000.000,- untuk peserta didik sejumlah 3.000 ALOKASI 2011 keluarga dengan satuan biaya Rp 1.000.000,- per keluarga.

JABAR BEBAS BUTA AKSARA




121111-edutaiment3Ilustrasi
BANDUNG, (Tubas) – Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan bertekad mewujudkan Jawa Barat Bebas Buta Aksara pada akhir tahun 2012. Saat ini Jawa Barat sudah lolos batas angka buta huruf nasional sebesar 95 persen, karena sudah menembus angka 96 persen warga Jawa Barat yang bebas buta huruf.
Dalam memperingati Hari Aksara Internasional ke-46 yang dipusatkan di Pantai Pelabuhan Ratu, Citepus, Kabupaten Sukabumi, pekan lalu, Ahmad Heryawan menambahkan setiap tahun penyandang buta aksara terus berkurang tiga persen. “Kita harus optimis pada akhir tahun 2012 Jawa Barat akan bebas buta aksara, khususnya yang berada di bawah usia 30 tahun. Kita fokus dan optimis dapat membebaskan mereka dari buta aksara,” tegasnya.
Menurut Haryawan usia di bawah 30 tahun masih bisa menerima asupan ilmu yang menuntut mereka bisa membaca. Lagipula dengan rentang usia tersebut, tergolong produktif dan bisa diajak belajar dengan baik. Tentu dengan dukungan semua pihak terkait dengan menyediakan sarana belajar mengajar yang memadai. “Kita terus tingkatkan kemampuan daya serap sekolah dengan membangun banyak ruang kelas baru. Peran swasta melalui program CSR agar terus difokuskan kepada peningkatan kualitas pendidikan masyarakat,” pintanya.
Saat ini, lanjut Heryawan, pemerintah mulai meningkatkan pendidikan dasar bagi dari 9 tahun menjadi 12 tahun. Diharapkan ke depannya masyarakat Jawa Barat mempunyai sumber daya manusia minimal lulusan SMU atau sederajat. Kini, sedang mengupayakan pengembangan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). (damanik)
Diambil Dari : http://www.tubasmedia.com/berita/

MEMBANGUN KARAKTER ANAK MELALUI TAMAN BACAAN BINAAN

Membangun Karakter Anak melalui Taman Bacaan Binaan
Selasa, 15 November 2011 11:11    Cetak
unairProgram Pengabdian Masyarakat Perpustakaan Unair
Aku datang, aku belajar, aku pintar begitulah kata-kata mutiara itu terpampang di salah satu sudut dekat pintu masuk di TK Handayani di Jalan Pasar Kembang No. 77 A, Surabaya. Kemudian tampak para guru dan murid TK itu menyambut kedatangan tim Perpustakaan Universitas Airlangga, Jumat (4/11). Kunjungan kali itu adalah untuk meresmikan taman baca anak binaan Perpustakaan Unair.
Acara tersebut merupakan program pengabdian masyarakat yang digagas oleh tim Perpustakaan Unair demi menumbuhkan minat baca generasi muda. Melalui program tersebut diharapkan taman baca yang dirintis oleh perpustakaan unair mampu merangsang minat baca anak usia dini sebab saat itulah usia tepat bagi pembangunan karakter anak.
“Pembangunan karakter memberikan akhlak yang baik bagi anak, merangsang minat baca (anak) dimaksudkan untuk membangun akhlak dan moral pada anak,” Kata Drs. Koko Srimulyo, M.Si. yang menjabat sebagai Kepala Perpustakaan Unair dalam kesempatannya menyampaikan sambutan peresmian. Menurutnya, dalam agama pun sudah ditanamkan betapa pentingnya “iqra” sebagai langkah awal utuk membangun akhlak.
Saat ini minat baca anak indonesia termasuk dalam kategori memperihatinkan. Data yang didapat dari Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS), sebuah studi lima tahunan yang meneliti minat baca anak di berbagai negara menempatkan Indonesia pada posisi 36 dari 40 negara yang dijadikan sampel penelitian di tahun 2006. Banyak faktor yang bisa menjadi penyebab rendahnya minat baca anak mulai dari sistem pendidikan yang kurang efektif menumbuhkan minat baca, faktor ekonomi dan faktor lingkungan. Pada subyek anak usia dini faktor lingkungan menjadi pengaruh yang dominan. Bagaimana orang-orang di sekitar lingkungan khususnya orang tua memberikan pengaruh akan pentinganya minat baca bagi anak. Tidak hanya orang tua, anak masa kini juga lebih sering menonton tv dan bermain daripada meluangkan waktu untuk membaca.
Dalam kesempatan itu Perpustakaan Unair memberikan bantuan koleksi sebanyak 210 judul dan 239 eksemplar dan 51 judul buku ajar sebanyak 53 eksemplar plus 2 rak buku dan perlengkapan pengolahan. Tak hanya itu perpus unair juga memberikan pelatihan kepada guru di TK tersebut untuk mengelola dengan mandiri taman bacaan.
“Kami berharap taman bacaan ini dapat segera difungsikan dan dirasakan manfaatnya oleh kami, murid dan wali murid disini, “ Kata ibu silviani, kepala sekolah TK Handayani dengan nada gembira.
Beberapa tahap dilakukan sebelum peresmian taman baca anak binaan. langkah awal  tim perpustakaan melakukan survey terlebih dahulu ke lokasi, apakah tempat tersebut layak untuk mendirikan taman bacaan atau tidak. Kemudian respon dari pihak sekolah apakah positif. “ada yang minta kami tapi juga ada yang nolak waktu kami tawari mendirikan taman bacaan. Tentunya dikarenakan tempat yang tidak ada,” kata Ibu Sugiati, salah satu tim pengmas Perpustakaan Unair.
Rencana ke depan, tim pengabdian masyarakat  Perpustakaan Unair ingin lebih luas menjangkau seluruh institusi pendidikan anak di sekitar kampus Unair. Total  saat ini perpustakaan unair telah membantu merintis taman bacaan sebanyak tujuh buah sejak tahun 2009. Taman bacaan tersebut didirikan di TK, PAUD hingga panti Asuhan yang lokasinya berada di sekitar kampus Unair. Bantuan yang diberikan berupa bantuan koleksi perlengkapan dan pembinaan. Di hari yang sama, peresmian taman bacaan juga dilakukan di panti asuhan Ashabul Kahfi No 2 di Jl. raya mulyosari 57, Surabaya.
Berita dan Gambar  dari : http://www.unair.ac.id/

BRANTAS BUTA AKSARA

PKBM Bina Bersama Samboja Brantas Buta Aksara
Jumat, 18 November 2011 12:50    Cetak
TENGGARONG - PKBM Bina Bersama kecamatan Samboja terus berupaya dalam mensukseskan pemberantasan buta aksara di Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar). Sebagaimana yang diharapkan Bupati Kukar Rita Widyasari melalui program Kukar sebagai Zona Bebas Aksara. Hal tersebut dikatakan Ketua PKBM Bina Bersama Samboja Abdurahman dalam acara Pencanangan Kegiatan pendidikan KF di Kelurahan Desa Karya Jaya baru-baru ini di Samboja.
Menurut Abdurahman, pelaksanaan pendidikan Keaksaraan Fungsional (KF) 2011 dilaksanakan di 5 Kelurahan dan Desa, yaitu Kelurahan Sanipah, Teluk Pemedas , Kuala Samboja, Tanjung Harapan dan Desa Karya Jaya. Terdiri dari 56 kelompok belajar 30 kelompok KF Dasar dan 26 KF Mandiri/KUM/KF. "KF Dasar adalah kelompok awal belajar KF,dengan kurikulum sederhana yaitu Calistung. mereka diajari untuk mengenal huruf (ABC hingga Z), agar bisa membaca dan menulis (calis) dan mereka juga diajari mengenal angka agar  bisa menyebut angka dan menuliskannya,dan akhirnya dapat berhitung, sehingga setelah selesai KF dasar mereka diharapkan bisa membaca, menulis dan berhitung atau Calistung," katanya.
Adapun KF Mandiri, bagi yang sudah selesai KF Darsar, mendapat lanjutan pelajaran Calistung, supaya lebih lancar dan tidak melupakan pelajaran sudah didapat, dan diberi tambahan pendidikan ketrampilan. Misalnya  mencontohkan, 2 atau 3 minggu belajar Calistung, minggu berikutnya diselingi belajar ketrampilan, misalnya bagaimana membuat ABON dari Ikan, membuat Selai dari Nenas , atau membuat susu dari Kedelai dll, pelajaran ketrampilan ini diajar kan secara kontektual artinya diberikan sesuai petensi yg ada didaerahnya.
"Kegiatan pendidikan  KF ini guru guru nya  telah kami persiapkan dengan mengikuti Diklat. Ada 9 Tutor saat ini sedang diklat di Samarinda yg dilaksanakan oleh Provinsi. Dan 3 tutor lainnya diklat di Muara Jawa. Kami juga bekerja sama degan mahasiswa yang sedang  KKN, yaitu mahasiswa STAI Balikpapan yang kebetulan KKN di desa Karja Jaya ini," ujarnya.
Saya bersama pengurus PKBM Bina Bersama Samboja, dan semua tutor berharap semoga program ini berjalan lancar dan sukses, sebagaimana harapan Bupati Kukar dengan program Kutai Kartanegara Sebagai Zona Bebas Buta Aksara. Tentunya program ini dapat terlaksana dengan baik dan lancar,  atas bantuan semua pihak terutama peran aktip kecamatan, Lurah dan Kepala Desa serta semua warga kelurahan dan desa yang ada dikecamatan Samboja ini. katanya.   
Ditambahkannya, PKBM Bina Bersama Samboja diberi amanah oleh pemerintah untuk melaksanakan pedidikan KF yang mencakup disemua Kelurahan dan Desa di Kecamatan Samboja. Setiap kegiatan selalu melibatkan pihak kelurahan untuk sosialisasi pembelajaran KF dan dilanjutkan membagikan tas, buku dan alat tulis untuk tutor dan warga belajar. "Dengan harapan pihak kelurahan atau desa, dapat  mengarahkan masyarakat supaya dapat belajar aktif  pada kelompok yang sudah ditentukan,  dan agar suksesnya program penuntasan pemberantasan buta aksara di Kukar,"harapnya. Adapun yang hadir dalam kegiatan itu Dinas Pendidikan Kukar diwakilkan Kabid PNFI, Paud dan Kejuruan H Bahransyah, Kasubbid PNFI Saiful Anwar, Camat Samboja diwakili sekcam, Koramil dan Kapolsek Samboja, UPT Dinas Pendidikan, Lurah, Kades serta tokoh masyarakat lainnya. (hmp04)
Berita dan gambar dari : http://humas.kutaikartanegarakab.go.id/

pendidikan non formal

Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini

Fungsi dan Tujuan Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini
Pendidikan anak usia dini memiliki fungsi utama mengembangkan semua aspek perkembangan anak, meliputi perkembangan kognitif, bahasa, fisik (motorik kasar dan halus), sosial dan emosional. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang sangat kuat antara perkembangan yang dialami anak pada usia dini dengan  keberhasilan mereka dalam kehidupan selanjutnya. Misalnya, anak-anak yang hidup dalam lingkungan (baik di  rumah maupun di KB atau TK) yang kaya interaksi dengan menggunakan bahasa yang baik dan benar akan terbiasa mendengarkan dan mengucapkan kata-kata dengan benar, sehingga ketika mereka masuk sekolah, mereka sudah mempunyai modal untuk membaca.
Sehubungan dengan fungsi-fungsi yang telah dipaparkan tersebut, maka tujuan pendidikan anak usia dini dapat dirumuskan sebagai berikut.
  1. Memberikan pengasuhan dan pembimbingan yang memungkinkan anak usia dini tumbuh dan berkembang sesuai dengan usia dan potensinya.
  2. Mengidentifikasi penyimpangan yang mungkin terjadi, sehingga jika terjadi penyimpangan, dapat dilakukan intervensi dini.
  3. Menyediakan pengalaman yang beranekaragam dan mengasyikkan bagi anak usia dini, yang memungkinkan mereka mengembangkan potensi dalam berbagai bidang, sehingga siap untuk mengikuti pendidikan pada jenjang sekolah dasar (SD).

Visi & Misi PAUD
Visi
Terwujudnya anak usia dini yang cerdas, sehat, ceria dan berakhlak mulia serta memiliki kesiapan baik fisik maupun mental dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.
Misi
1.      Meningkatkan perluasan dan pemerataan akses layanan PAUD melalui pnyelenggaraan PAUD yang mudah dan murah, tetapi bermutu.
1.      Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan partisipasi aktif masyarakat dalam memberikan layanan PAUD.
2.      Memberikan layanan yang prima (efektif, efisien, akuntabel, transparan) kepada masyarakat di bidang PAUD.
TIGA PILAR KEBIJAKAN PAUD
1. Perluasan dan pemerataan akses layanan PAUD kepada semua anak antara lain melalui:
  • Pemberdayaan semua potensi yg ada di masyarakat;
  • Keberpihakan kpd anak-anak yg kurang beruntung
2. Peningkatan mutu, relevansi dan daya saing antara lain dg cara :
  • Mengupayakan PAUD yg murah dan mudah, tetapi bermutu.
3. Penguatan tata kelola, akuntabilitas dan pencitraan pendidikan (PAUD) antara lain dengan cara meningkatkan
  • Keterbukaan, kemudahan dan fleksibilitas di bidang layanan PAUD kepada masyarakat.
Sasaran PAUD
a. Sasaran Utama :
Anak lahir s/d usia 6 tahun (utamanya yang belum mendapat layanan PAUD Jalur Pendidikan Formal),prioritas 2-4 th.
- Th 2009 ditargetkan 35% anak 2-4 th terlayani di PAUD Nonformal, dan 53,90 % Anak usia 0-6 tahun terlayani di PAUD Formal dan Nonformal
b. Sasaran antara :
  • Orang tua/keluarga, calon orangtua
  • Pendidik dan Pengelola PAUD
  • Semua Lembaga Layanan Anak Usia Dini
  • Para tokoh masyarakat dan stakeholders PAUD
Jalur Formal :
Taman Kanak-kanak (TK), Raudhatul Athfal (RA), atau bentuk lain sederajat
Jalur Nonformal :
Kelompok Bermain (KB), Taman Penitipan Anak (TPA), atau bentuk lain sederajat
Jalur Informal :
Pendidikan Keluarga atau Pendidikan yang Diselenggarakan oleh Lingkungan
Catatan: Pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang
pendidikan dasar. [(UU No. 20 Th 2003, Pasal 28, ayat (1)]