Sabtu, 26 November 2011

Indovision Rilis Siaran Pendidikan Keterampilan



Jakarta - Memenuhi janjinya yang sempat tercetus awal 2010 lalu, TV kabel berlangganan Indovision pun mulai menyiarkan siaran pendidikan ketrampilan. Konsep siaran yang diklaim mampu menjadi alternatif solusi bagi daerah-daerah yang tak terjangkau pendidikan konvensional ini, ditargetkan bakal menghasilkan 1.000 kelas ketrampilan.

Head Corporate Secretary MNC Sky Vision (Indovision) Arya Mahendra Sinulingga mengatakan, program yang digagas Global Mediacom atau yang lebih dikenal dengan sebutan MNC Grup bersama dengan Dinas Pendidikan ini telah mulai disiarkan sejak awal Mei lalu.

Dalam program kerjasama tersebut Indovision berperan sebagai penyedia konten yang bertanggung jawab untuk memproduksi siaran.

Arya mengatakan investasi yang dikeluarkan Indovision untuk produksi per episode berkisar Rp 20 juta. Itu prediksi produksi untuk siaran selama 30 menit, jelas Arya kepada KONTAN (11/5).

PT Global Mediacom, Tbk sendiri telah menandatangani nota kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) dibidang pendidikan dan keterampilan dengan Kementerian Pendidikan Nasional (Diknas) pekan lalu. Penandatanganan MoU itu dilakukan oleh Direktur Utama Global Mediacom Hary Tanoesoedibjo dan Menteri Pendidikan Nasional Muhammad Nuh.

Lewat nota kesepahaman tersebut kedua pihak sepakat untuk memverikan pendidikan keterampilan melalui program siaran Televisi Edukasi, yaitu siaran program pendidikan jarak jauh. Sehingga masyarakat Indonesia yang semula tidak memiliki keterampilan dan pendidikan dapat belajar lewat siaran TV.

Program pendidikan jarak jauh melalui siaran TV Edukasi ini menyasar segmen masyarakat di Indonesia terutama daerah-daerah pinggiran dan terpencil.

"Oleh karena itu, Global Mediacom sengaja merangkul Indovision sebagai penyedia perangkat siaran. Karena Indovision memiliki teknologi yang sesuai untuk menyiarkan ke seluruh Indonesia," ujar Harry Tanoesodibjo direktur Utama Global Mediacom.

Program Keterampilan Tekan Angka Pengangguran




Habis Gelap Terbitlah Terang. Judul buku pejuang emansipasi RA Kartini itu agaknya bisa menjadi pilihan kalimat yang tepat untuk menggambarkan Desa Gemawang, Kecamatan Jambu, Kabupaten Semarang. Berkat pengembangan berbagai program keterampilan (vokasi) oleh Ditjen Pendidikan Nonformal dan Informal (PNFI) Kementerian Pendidikan Nasional, desa yang dulu tertinggal itu sekarang menjadi gemah ripah loh jinawi.
Perubahan itu dirasakan benar oleh Sukirno (39), warga Desa Gemawang yang sebelumnya bekerja serabutan mulai dari buruh tani, pabrik hingga bangunan. Sejak digulirkannya program vokasi di desa itu setahun terakhir, ia tak pernah menganggur lagi. Hari-harinya disibukkan dengan membuat alat edukasi untuk dipasok ke pusat belajar pendidikan anak usia dini (PAUD) yang tersebar di seputar Jawa Tengah.
"Kebetulan saya senang menggambar dan membuat kerajinan tangan, jadi bergabung di vokasi alat edukasi," kata pria lajang ini.
Soal penghasilan, Sukirno mengaku jumlahnya memang tidak sebesar jika ia menjadi buruh pabrik. Namun, pekerjaan yang teratur membuat suasana hatinya lebih tenang dalam menjalani hidup.
Begitu juga dengan dengan nasib Wiwin Trikurniawan, pria 29 tahun yang kini "juragan" ikan lele. Sejak aktif dalam program pelatihan keterampilan budi daya lele, hasil panennya tidak pernah mengecewakan. Wiwin bersama kelompoknya di vokasi perikanan berhasil menjual sekitar 6.000 ekor ikan lele setiap bulannya.
Karena tingginya permintaan ikan lele dari para pedagang, menurut Wiwin, maka saat ini anggotanya memiliki kolam ikan di halaman rumahnya masing-masing. "Kolam ini rencananya menjadi kolam pembibitan saja. Sebab, kalau hanya mengandalkan dua kolam ini, permintaan pasar tidak bisa dipenuhi," ucap Wiwin.
Pembuatan alat edukasi PAUD dan pemeliharaan lele ini merupakan dua dari beberapa keterampilan yang dikembangkan di Desa Gemawang, seperti pembuatan batik, madu, kopi, roti, makanan kecil untuk oleh-oleh seperti keripik tempe, lanting dan keripik pisang, budi daya indigo, kelengkeng, pupuk organik, jamur tiram, tanaman obat hingga peternakan kelinci.
Ade Kasmiadi, Kepala Pusat Pengembangan Pendidikan Nonformal dan Informal (P2PNFI) Regional II Jateng, sekaligus penggagas pembentukan desa vokasi itu menuturkan, pengembangan desa vokasi menekankan pada pemberian sejumlah kecakapan hidup bagi masyarakat untuk pengentasan kemiskinan.
"Masyarakat dilatih oleh para praktisi yang benar-benar jago di lapangan, hingga mereka benar-benar berhasil dan mandiri. Kami juga melakukan pendampingan untuk melihat sejauh mana tingkat keberhasilannya," ujarnya.
Ade mengemukakan, ada 13 pelatihan yang diikuti 10-20 peserta tergantung pada inatnya. Dari kegiatan itu, kemudian dikembangkan lagi dalam beberapa kelompok usaha produktif. Dengan demikian, masyarakat yang ingin belajar berusaha bisa mengikuti kelompok usaha yang ada.
Selain mengembangkan kelompok-kelompok usaha produktif sesuai potensi lokal, di Desa Gemawang juga tersedia perpustakaan. Perpustakaan itu dijalankan secara berkeliling ke dusun-dusun sehingga warga bisa membaca aneka buku pengetahuan.
"Keberadaan perpustakaan desa ini sangat penting karena warga bisa belajar tidak saja keterampilan lewat buku-buku, tetapi juga pengetahuan lainnya. Jadi, bukan saja keterampilan yang diasah, tetapi juga otaknya agar wawasannya lebih terbuka," ucapnya.
Ade mengungkapkan, gagasannya tentang desa vokasi sebenarnya terinspirasi oleh kebijakan Pemerintah Thailand lewat program "One Tambon, One Product" atau "Satu Kampung, Satu Produk", yaitu satu kampung/desa wajib memiliki satu produk unggulan.
"Awalnya, produk-produk unggulan itu hanya untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik.
Namun, karena digarap secara serius, maka produk-produk unggulan dari desa-desa di Thailand itu bisa menembus pasar internasional," kata Ade seraya berharap suatu hari nanti produk dari desa vokasi juga bisa go international.
Pembentukan desa vokasi ini terbilang tepat untuk mengatasi angka pengangguran di Indonesia yang makin membengkak. Analoginya sangat sederhana, jika masyarakat pedesaan sudah mandiri dan bahkan bisa mendatangkan devisa dengan produk-produk unggulan lokal, maka mereka tidak akan menyerbu wilayah perkotaan. (Tri Wahyuni)

Workshop Guru Bahasa Mandarin di BPPNFI Makassar





Makassar - Sebanyak 35 guru bahasa Mandarin se Sulawesi Selatan, mengikuti workshop pemantapan sumber daya guru bahasa Mandarin. Sebagian besar di antaranya merupakan utusan Yayasan Pengambangan Ilmu Kebudayaan dan Harapan Bangsa (YPIK-HB) Makassar.
 
Workshop tersebut dibuka Kepala sub Direktorat Kursus dan Pelatihan Dirjen Pendidikan Anak Usia Dini Kementerian Pendidikan NasionalAbu Bakar Umar, di Gedung Balai Pengembangan Pendidikan Nonformal dan Informal (BPPNFI) Regional V Makassar, Jl Adhyaksa, Makassar, Sabtu (16/4).
 
Abu Bakar merespon positif kegiatan ini sebagai salah satu upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia guru-guru Bahasa Mandarin di Makassar.
 
Salah satu kegiatan dalam workshop yang akan berlangsung dua hari ini adalah pelatihan pembuatan kerajinan tangan berupa gantungan perhiasan yang dibawakan Nurhayati Sommeng, guru Bahasa Mandari dari Kabupaten Wajo.
 
Pelatihan kerajinan tangan yang diajarkan kepada peserta workshop  itu menurut Nurhayati merupakan salah satu budaya Tionghoa yang masih dilestarikan dan tetap terpeliharan hingga saat ini.

Warga Desa Dilatih Komputer




Sungguminasa - Mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN) Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar melaksanakan pelatihan IT (komputer) untuk warga dan remaja se Desa Borong Pa'la'la, Kabupaten Gowa.
 
Panitia pelaksana, Suriani, mengatakan, pelatihan yang diselenggarakan selama dua hari itu dilakukan di Gedung Serba Guna Desa Borong Pa?lala, Kabupaten Gowa.
 
Dalam kegiatan yang diikuti ratusan peserta ini menurut Suriani, peserta diberi materi dasar tentang pengenalan office (word), bagian-bagian komputer, teknik mengedit foto di photoshop, exel, dan beberapa program lainnya.

Kepala Desa Borong Pa'lala, Muhammad Jafar, mengapresiasi pelatihan komputer yang diselenggarakan mahasiswa UIN yang KKN di daerahnya karena bisa menambah wawasan pemuda dan warga desa setempat.
 
Menurut Suriani, selain program pengenalan komputer, mahasiswa juga membuat kegiatan lain seperti menggelar lomba MTQ, pelatihan dasar IT, Yasinan setiap malam Jumat dan beberapa program lainnya.(rusdy embas)

Dodol Salak Pangu, Meningkatkan Nilai Jual Buah Salak





Di sebuah desa di kabupaten Minahasa Tenggara Provinsi Sulawesi Utara yaitu Desa Pangu Dua tepatnya di kecamatan Ratahan Timur terdapat tempat pembuatan Dodol Salak. Dodol Salak adalah makanan sejenis dodol yang terbuat dari buah salak dan sangat menarik untuk dijadikan oleh-oleh atau buah tangan. Menurut Informasi dari Pengelola Dodol Salak,  Bpk. Fadly Kawuwung "awal mula pembuatan dodol salak sebenarnya sudah lama ada, bermula karena buah salak di Desa Pangu Raya jika pd musim panen raya, biasa harga menjadi sangat murah sehingga ada masukan untuk mengolah buah salak menjadi produk yang bisa mengangkat harga jual buah salak agar tidak murah. Bertepatan hal tersebut, awal tahun 2011 diadakan pelatihan pembuatan Dodol Salak dan olahan lain dari buah salak seperti selai dan manisan salak yang dilaksanakan oleh Balai Pelatihan Kewirausahaan Bidang Agro Industi/Pangan di Kota Manado Provinsi Sulawesi Utara yang diikuti istri saya yang bernama Firginia L. D. Pontonuwu, SE bersama orang utusan dari desa Pangu/Mitra. Selesai mengikuti pelatihan tersebut, karena sudah mendapat pengetahuan dan dorongan dari para pemberi materi diklat, maka kami bersemangat langsung menindak lanjuti dengan berusaha membuat dodol salak yang kemudian kami beri nama Dodol Salak Pangu, Salak Jaya. Selain itu, kami pun sekarang sedang mencoba mencari olahan dari buah salak seperti keripik, minuman dari buah salak, dll".
 
Proses pembuatan Dodol Salak ini pun cukup sederhana, yakni dengan menggunakan peralatan seperti Wajan,Sendok besar kayu,tungku dan kayu bakar. Dalam satu Wajan dapat menampung 8 kilo salak yang dicampur 1 ½ Kg gula aren, 5 ½ Kg gula pasir, dan 2 Kg tepung beras ketan,ditambah garam dan air secukupnya serta dengan perbandingan santan 1:1 dan dapat juga divariasikan dgn pandan pasta, kemudian diaduk secara terus menerus selama 3-4 jam hingga mengental dengan tanda sudah tidak lengket lalu didinginkan semalam. 
 
Untuk pengemasannya, dodol dibungkus kecil-kecil menggunakan plastik kemudian daun woka/lontar yang sudah dikeringkan. Dalam setiap kemasan berisi 10 buah dodol dan dihargai Rp.5000,- per kemasan. Dalam seminggu permintaan dodol salak bisa mencapai 16 Kg. Dan mampu bertahan disimpan hingga 3 bulan. Namun sampai saat ini tempat pembuatan dodol salak ini belum pernah mendapatkan bantuan.   

Keselarasan Pendidikan Dengan Dunia Kerja/DUDI (Dunia Usaha&Dunia Industri)





Jakarta - Pemetaan Kebutuhan Kerja Penting Bagi Pendidikan, Direktur Pembinaan Kursus dan Pelatihan PAUDNI Wartanto mengatakan, "Penyelarasan pendidikan dengan dunia kerja amatlah penting dilakukan. Tapi terlebih dahulu diberlakukan pemetaan kebutuhan kerja antara kebutuhan dengan lembaga kerja yang ada di pendidikan," ujarnya dalam konferensi pers Direktur Jenderal Pembinaan Kursus dan Pelatihan PAUDNI Kementerian Pendidikan Nasional  yang akan menyelenggarakan Lomba Edunimasi Festival 2011 Lomba Nasional Pembuatan Klip Animasi Edukasi dengan tema: Keselarasan Pendidikan dengan Dunia Kerja.
 
Menurut Wartanto, penyelarasan pendidikan dengan dunia kerja lebih mengkhususkan bagaimana menemukan keselarasan antara lulusan pendidikan dengan dunia kerja yang ada. Diharapkan, anak didik yang sudah lulus dapat memenuhi akses kebutuhan lahan pekerjaan.
 
Wartanto menginformasikan, "Dari total jumlah pengangguran di Indonesia, pengangguran SMK menempati posisi tertinggi yaitu sebanyak 17,26% (2009) dan 14,59 persen (2008). Diikuti oleh pengangguran dari tingkat SMA sebanyak 14,01% (2009) dan 14,5% (2008)."
 
Karena itu, penyelarasan pendidikan sangat penting dilakukan. Wartanto menegaskan, "Jangan sampai anak-anak SMK setelah lulus dibiarkan untuk menganggur. Begitu pula dengan anak-anak lulusan kursus dan politeknik."
 
Ini tidak hanya dikhususkan bagi lembaga kursus saja tapi juga bagi siswa SMA, SMK, serta politeknik. Tapi dikhususkan memang untuk SMK dan pendidikan nonformal (kursus) karena SMK dan lulusan kursus langsung dilempar ke dalam dunia pekerjaan, sangat berbeda dengan lulusan SMA yang harus melanjutkan ke universitas dan belajar teori. (grace)
 
23 Juni 2011 | Laporan oleh aline

Belajar Kecapi di Sidrap




Azan pertanda waktu shalat Lohor sementara berkumandang dari menara masjid, ketika kami tiba di Dusun Dea, Desa Sipodeceng, Kecamatan Baranti, Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap), siang itu, untuk melihat langsung tempat pembuatan kecapi.
 
Usai salat Lohor, seorang pria berusia 57 tahun, yang masih terlihat enerjik bergegas menemui kami di kolong rumah yang merupakan bengkel tempat pembuatan kecapinya. Kegiatan pembuatan kecapi ini merupakan salah satu pengrajin binaan Balai Pengembangan Pendidikan Nonformal dan Informal (BPPNFI) Regional V Makassar.
 
Berbicara tentang kecapi dengan pria yang berprofesi sebagai guru itu, perbincangan mengalir lancar dalam suasana santai. Meski baru sekitar lima tahun menekuni pembuatan alat musik tradisional itu, H Nurdin sudah sangat piawai menjelaskan seluk beluk pembuatan kecapi.

Itu tidak mengherankan karena selain mampu membuat kecapi, H Nurdin juga sangat piawai memainkan alat musik petik bersenar dua itu. Kemampuannya memainkan kecapi diperlihatkan saat itu juga dibantu putra keduanya yang juga sudah mampu mewarisi keahlian sang ayah membuat dan memainkan kecapi.

Meski membuat kecapi hanya dilakukan secara sambilan sepulang mengajar di SMP Negeri 3 Baranti, Kabupaten Sidrap, namun H Nurdin masih cukup produktif. Dalam sepekan pria berputra empat itu bisa menyelesaikan lima buah kecapi siap jual. Apalagi, nyaris tak ada kecapi yang tinggal di bengkelnya karena setiap selesai sudah ada calon pembelinya.
 
Untuk membuat kecapi, H Nurdin mencari bahan bakunya di sekitar hutan dusun tempatnya bermukim. Beruntung alam masih menyiapkan pohon kecapi yang dalam bahasa lokal disebut Settung, meski saat ini pohon tersebut sudah mulai langka. Jenis kayu ini menurut H Nurdin sangat baik, karena struktur kayunya sangat teratur sehingga mudah dibentuk.

Selain pohon kecapi, menurut H Nurdin, pohon nangka juga bisa menjadi bahan baku alternatif. Hanya saja jarang dipakai karena jenis kayu ini kurang bagus karena sulit dibentuk menjadi kecapi dengan kualitas suara yang benar-benar prima.

Soal pemasaran kecapi, H Nurdin mengaku tidak kesulitan. Nyaris tidak ada kecapi yang tertinggal di bengkelnya. Itu karena konsumennya berdatangan dari berbagai daerah sekitarnya, sebab para pengguna kecapi lebih memilih membeli alat tersebut ketimbang membuatnya sendiri.

Apatah lagi, kecapi buatan H Nurdin sudah diketahui kualitasnya. Sehingga Sanggar Seni Sulota milik H Nurdin seakan menjadi pusat pembuatan kecapi. Khususnya untuk memenuhi kebutuhan peminat alat musik tradisional Sulsel tersebut.

Membuat kecapi mulai dilakoni H Nurdin sekitar 1985 silam, ketika bergabung dalam kelompok usaha kegiatan seni setempat. Dia bergabung dengan kelompok seni tersebut sebagai salah satu cara dia ikut melestarikan salah satu budaya seni lokal Sulsel.

Seiring perjalanan waktu dan makin populernya kecapi buatan H Nurdin ke berbagai daerah, pemerintah pun menaruh perhatian terhadap upayanya yang dinilai mampu melestarikan alat tradisional yang sudah tidak banyak diliring orang itu. Dan bantuan pun mulai turun.

“Saya pernah mendapat bantuan dari pemerintah sebesar Rp 27 juta,”kata H Nurdin dengan wajah sumringah. Bantuan itu menurutnya digunakan membeli peralatan yang masih serba sederhana dan tradisional.

Tentang bantuan yang diberikan pemerintah itu, Kepala Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) Kabupaten Sidrap, Muh Nur, yang mendampingi kami ke lokasi tersebut, mengatakan, itu dilakukan sebagai salah bentuk pembinaan yang dilakukan pemerintah.

Menurut Nur, pemerintah daerah Sidrap, melalui SKB terus melakukan pembinaan terhadap pengembangan pembuatan kecapi yang dilakukan H Nurdin. Bahkan, dalam waktu dekat ini, H Nurdin akan tampil dalam pameran di Jakarta, untuk mempertunjukan cara membuat kecapi sekaligus memainkannya.

“Pembinaan terus kami lakukan agar salah satu alat kesenian tradiosional ini tetap terpelihara. Apalagi, selain mampu membuat kecapi, H Nurdin juga piawai memainkannya,”kata Nur.

Selain membuat kecapi, H Nurdin mendirikan Sanggar Seni bernama Sulota. Kelompok ini sering tampil menghibur dalam berbagai acara. Baik acara yang diselenggarakan warga Sidrap dan sekitarnya maupun kegiatan yang dilakukan pemerintah daerah setempat.

Kecapi buatan H Nurdin bisa laku terjual seharga Rp 175 ribu per buah. Itu untuk jenis kecapi standar. Tetapi jika kecapinya sudah dilengkapi dengan peralatan yang bisa nyambung ke sound harganya sudah menjadi Rp 350 ribu perbuah.

Dengan menjual kecapi standar saja, dengan produksi rata-rata lima unit per buah maka H Nurdin bisa memperoleh penghasilan tambahan sekitar Rp 3,5 juta per bulan. Tetapi jika kecapinya sudah aksesoris maka penghasilannya bisa lebih besar lagi.